Workshop Kreativitas dan Berkarya yang digelar oleh MGMP Seni Budaya SMA Provinsi Jawa Timur pada tanggal 29 hingga 30 Juni itu benar-benar menghadirkan ruang belajar yang bukan hanya intensif tapi juga penuh semangat. Bertempat di BBGTK Jawa Timur, kegiatan ini mempertemukan para guru seni budaya dari berbagai daerah se-Jatim, baik dari wilayah pesisir, pegunungan, kota, hingga pelosok, dalam satu nafas yang sama: berkarya untuk pendidikan seni yang lebih hidup dan bermakna. Aku sendiri datang dengan dua peran sebagai peserta sekaligus pengurus MGMP yang dipercaya sebagai koordinator bidang musik. Menjalani dua peran ini membuatku tak hanya menjadi pendengar materi tapi juga merasakan denyut dari balik panggung, mengawal pelaksanaan dan ikut merasakan bagaimana para guru berinteraksi, bertukar pikiran, dan menyemai mimpi-mimpi mereka di bidang seni.
Salah satu sesi yang paling membekas di benakku adalah sesi bersama Drs. M. Nashir Setiawan, M.Hum, seorang dosen dari Universitas Tarumanagara Jakarta yang tak hanya mengajar di kampus tapi juga berkarya lewat tulisan, sketsa, dan pengamatan sosial yang tajam. Ketika beliau menyampaikan materi, suasana ruangan mendadak tenang seperti ada medan energi yang membuat kami larut dalam setiap kalimatnya. Ia tidak sekadar memaparkan teori atau metode pembelajaran seni tapi berbicara dari pengalaman batin yang mendalam, tentang pentingnya rasa, tentang pendidikan yang menyentuh hati, dan tentang bagaimana seni seharusnya menjadi ruang kemanusiaan bukan sekadar aktivitas kurikuler. Ia juga sempat menyinggung karya tesisnya yang mengangkat tokoh Panji Koming, karakter satir yang pernah sangat populer di harian Kompas, dan bagaimana tokoh itu menjadi refleksi politik dan sosial Indonesia dalam bingkai humor. Aku merasa seperti diajak berjalan menembus lapisan sejarah, kritik, dan estetika dalam satu waktu.
Setelah rangkaian materi selesai di hari pertama, malam menjelang dengan angin khas Kota Batu yang mulai menusuk lembut tulang. Sekitar pukul sebelas malam aku keluar dari area BBGTK mencari udara malam yang tenang untuk menenangkan pikiran yang masih riuh oleh materi tadi. Jalanan Batu yang basah sisa hujan sore itu terasa sepi tapi menenangkan. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya ke aspal dan aku melangkah perlahan ke arah Balaikota Among Tani. Tak jauh dari sana mataku tertuju pada tempat yang sudah lama kuingat, Roti Bakar Yoenoes, sebuah kedai legendaris yang sering disebut-sebut oleh teman-teman guru setiap kali ada kegiatan di Batu. Malam itu aku masuk, memilih duduk di dekat tempat pemesanan, bangku kayu panjang yang langsung menghadap ke bagian dapur terbuka. Aroma roti bakar dan STMJ menyeruak dari tungku kecil, menghangatkan udara dingin yang menggigit. Aku memesan segelas STMJ Makjun, minuman hangat pengusir dingin, perpaduan susu, telur, madu, dan jahe yang menguarkan aroma khas membalut udara dingin dengan kehangatan sederhana.
Hening malam dan hangatnya STMJ membuatku larut dalam refleksi. Aku membayangkan kembali wajah-wajah anak didikku di SMAN 1 Singgahan, anak-anak desa yang haus akan hal-hal baru, yang belajar bukan karena keharusan tapi karena rasa ingin tahu mereka begitu tulus. Mereka adalah alasan mengapa aku terus bertahan di jalur pendidikan ini. Saat gelas STMJ mulai tinggal setengah dan roti bakar coklat keju hangat baru saja kusentuh, tiba-tiba sebuah tangan muncul dari sisi kananku menyodorkan selembar kertas. Aku menoleh dengan refleks dan mataku langsung tertumbuk pada sketsa di atas kertas itu. Di sana tertulis Mohdi dengan goresan tangan cepat namun detail dan gambar wajah yang seolah mengenalku luar dan dalam. Butuh beberapa detik bagiku untuk sadar, itu adalah wajahku.
Aku menatap tangan yang menyodorkan kertas itu dan ternyata Pak Nashir. Duduk tak jauh dariku di sudut meja lain, sendirian dengan jaket tebal dan segelas kopi. Ia tersenyum kecil, santai seolah menyapa lewat goresan sebelum kata. Aku kaget tentu saja, tapi lebih dari itu aku merasa haru dan bangga. Tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa malam itu dalam suasana santai seperti ini seorang dosen yang kukagumi diam-diam memilihku sebagai objek sketsa, bukan karena formalitas, bukan karena tugas, tapi karena momen yang lahir begitu saja, alami dan jujur. Sketsa itu terasa begitu personal, seperti pengakuan diam-diam bahwa aku juga hadir dalam ruangnya bukan hanya sebagai peserta tapi sebagai manusia yang dipotret lewat mata seniman.
Tanpa ragu aku menghampiri mejanya. Kami berbincang, tidak sebagai dosen dan peserta workshop tapi sebagai dua insan yang mencintai dunia seni dan pendidikan. Kami bicara tentang anak-anak desa, tentang rasa ingin tahu yang masih segar, tentang bagaimana pendidikan seharusnya tidak hanya mengejar capaian tapi juga membangun kepekaan. Beliau bilang anak kota sudah terlalu banyak disuguhi. Ketika kita ajarkan hal baru mereka kadang tidak tergerak. Tapi anak-anak di desa seperti muridmu di Singgahan, mereka melihat sesuatu yang kecil sebagai sesuatu yang besar. Ada rasa ingin tahu yang lebih murni. Kalimat itu menempel di kepalaku hingga sekarang. Kami juga kembali menyentuh topik Panji Koming dan bagaimana karakter itu menjadi simbol kritik sosial yang dikemas dalam humor, dalam ironi, dalam ketajaman yang tak selalu harus lantang.
Obrolan kami malam itu di kedai STMJ sederhana terasa lebih bermakna daripada banyak seminar. Di situ tak ada slide presentasi, tak ada moderator, hanya ada dua orang yang saling menghargai jalan hidup satu sama lain. Sebelum berpisah kami sempat mengabadikan momen itu dalam sebuah foto. Aku simpan sketsanya baik-baik tidak hanya sebagai kenang-kenangan tapi sebagai bukti bahwa momen paling berharga kadang tidak terjadi di ruang seminar tapi di kedai kecil malam hari ketika semua topeng profesionalisme ditanggalkan dan yang tersisa hanya kejujuran.
Malam itu di tengah dinginnya kota Batu dan hangatnya STMJ Makjun di tangan aku merasa seperti sedang ada di bab yang penting dalam kisah hidupku. Sketsa itu bukan sekadar gambar, itu adalah cerita, pertemuan, pengakuan, dan pengingat. Bahwa dalam setiap langkahku sebagai guru selalu ada seseorang di luar sana yang mungkin melihat, mengapresiasi, dan diam-diam menggambarkan kita dengan ketulusan. Dan itu bagiku lebih dari cukup.
