
Sebagai seorang guru seni di sebuah SMA yang mayoritas siswanya beragama Islam, aku sering mengamati bagaimana kebiasaan dan norma tertentu terbentuk di lingkungan sekolah. Salah satunya adalah praktik keagamaan yang secara tidak langsung menjadi bagian dari budaya sekolah. Setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, siswa biasa membaca doa bersama, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sejak mereka di bangku SD. Namun, pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan siswa yang berbeda keyakinan dalam situasi seperti ini?
Dalam film pendek Berdoa, Mulai (Pray, Begin), hal semacam ini menjadi sorotan utama. Film ini menceritakan seorang siswi Kristen bernama Ruth yang bersekolah di lingkungan Muslim. Ia tidak dipaksa untuk mengikuti doa bersama, tetapi situasi sosial membuatnya berada dalam tekanan: apakah ia harus menyesuaikan diri atau tetap mempertahankan keyakinannya? Ini menjadi contoh nyata bagaimana hegemoni bekerja dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah hegemoni, yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, mengacu pada dominasi kelompok tertentu yang tidak hanya dilakukan melalui kekuatan, tetapi juga melalui persetujuan sosial. Dalam konteks sekolah, norma yang berlaku sering kali dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak dipertanyakan. Sebagian besar siswa dan guru menerima kebiasaan berdoa bersama tanpa berpikir bahwa ada kelompok minoritas yang mungkin merasa kurang nyaman.
Sebagai pendidik, aku tidak melihat ini sebagai sesuatu yang harus dihapuskan, tetapi lebih kepada bagaimana kita bisa menciptakan ruang inklusif bagi semua siswa. Hegemoni bukan hanya soal siapa yang mendominasi, tetapi juga bagaimana kelompok yang berbeda bisa berinteraksi dan beradaptasi. Jika ada siswa yang merasa berbeda, apakah mereka diberi ruang untuk mengekspresikan keyakinannya tanpa tekanan?
Realitasnya, banyak siswa non-Muslim yang akhirnya ikut berdoa bersama bukan karena mereka dipaksa, tetapi karena ingin menyesuaikan diri. Ini adalah bentuk persetujuan pasif yang muncul akibat norma sosial yang telah tertanam. Jika ditelaah lebih dalam, ini bukan hanya soal agama, tetapi juga bagaimana norma dan tradisi di sekolah kita terbentuk tanpa disadari.
Namun, bukan berarti hegemoni selalu bersifat negatif. Dalam beberapa kasus, ia justru menjadi sarana penyatuan dan pembentukan nilai-nilai positif, seperti disiplin, kebersamaan, dan rasa hormat. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara menjaga tradisi dengan memberikan ruang bagi keberagaman.
Sebagai guru, aku percaya bahwa pendidikan seharusnya membuka ruang diskusi, bukan hanya meneruskan kebiasaan tanpa refleksi. Memahami konsep hegemoni bisa membantu kita melihat bahwa ada banyak perspektif dalam sebuah kebiasaan. Dengan kesadaran ini, kita bisa membangun lingkungan sekolah yang lebih inklusif dan menghargai perbedaan, tanpa harus menghilangkan nilai-nilai baik yang sudah ada.
Referensi:
Film Pendek: