SIPUTERA, Jejak Budaya Singgahan yang Menyulut Antusiasme Warga

Singgahan – Suasana ruang terbuka hijau (RTH) Kecamatan Singgahan pada 27 Agustus 2025 lalu berubah menjadi lautan manusia. Ribuan warga tumpah ruah menyaksikan sebuah pertunjukan seni baru yang diberi nama SIPUTERA (Singgahan Punya Tema Cerita).

Inisiasi dari Camat Singgahan, Cahyadi Wibowo, SH., SIPUTERA lahir sebagai jawaban atas kebijakan Pemerintah Kabupaten Tuban yang menghimbau agar karnaval tidak digelar di jalan utama karena perbaikan dan kondisi lapangan yang kurang mendukung. Alih-alih kehilangan kemeriahan, Singgahan justru melahirkan ide segar yang memadukan teater, tari, dan musik dalam satu sajian cerita.

Dengan mengusung tema “Jejak Budaya Singgahan – Cerita dari Desa untuk Indonesia”, SIPUTERA menjadi wadah ekspresi sekaligus ruang kebersamaan.

Rangkaian kegiatan diawali pada 25–26 Agustus 2025 dengan pentas seni (pensi) dari lembaga pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMA. Pensi ini menjadi pemanasan sekaligus ajang unjuk bakat generasi muda.

Selanjutnya, SIPUTERA digelar dalam tiga malam pertunjukan utama pada 27, 29, dan 30 Agustus 2025. Pada hari pertama (27 Agustus), panggung menampilkan garapan seni dari dunia pendidikan. Tiga sekolah menengah tampil bergantian: UPT SMPN 1 Singgahan, UPT SMKN 1 Singgahan, dan UPT SMAN 1 Singgahan. Setelah penampilan dari SMAN 1 Singgahan, giliran pemerintah Kecamatan Singgahan naik panggung dengan membawakan wayang orang yang diperankan oleh pegawai kecamatan serta tambahan dukungan dari beberapa instansi sekitar Singgahan. Kehadiran mereka menjadi penutup hari pertama yang unik sekaligus memikat, menunjukkan bahwa seni bukan hanya milik pelajar, tetapi juga aparatur pemerintah yang ingin menyatu dengan masyarakat.

Pertunjukan berlanjut pada hari kedua (29 Agustus) dengan kehadiran Sanggar Nangani dari Dusun Trembul, Desa Mulyorejo. Mereka menghadirkan dagelan atau sandiwara humor khas rakyat yang sukses memancing gelak tawa sekaligus menghadirkan kritik sosial dengan cara yang ringan. Malam itu, suasana panggung benar-benar berubah menjadi arena hiburan rakyat yang cair dan penuh canda.

Sebagai penutup, hari ketiga (30 Agustus) menghadirkan musik tradisional Tongklek Satrio Kencono, juga dari Dusun Trembul, Desa Mulyorejo. Dentuman ritmis dari perkusi bambu dan alat musik sederhana mengiringi keceriaan warga. Penonton ikut larut, bertepuk tangan, bergoyang kecil, dan menikmati harmoni tradisi yang meriah.

Tak hanya seni yang berbicara. Di sekitar arena, expo dan bazar UMKM lokal menggeliat. Sejumlah pedagang mengaku omzet mereka naik tajam, bahkan ada yang melonjak hingga lima kali lipat hanya dalam satu malam.

“Ramainya penonton jadi indikator keberhasilan SIPUTERA. Bahkan, banyak pedagang UMKM menyampaikan pendapatannya meningkat drastis. Ini menandakan acara seni bisa membawa manfaat ekonomi yang nyata bagi masyarakat,” tutur Mohdi Prabowo, Koordinator Seksi Seni dan Budaya, usai pertunjukan malam terakhir.

SIPUTERA pun menuai banyak pujian. Kehadirannya dianggap sebagai napas baru dalam peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia di Singgahan. Camat Cahyadi berharap, SIPUTERA dapat menjadi agenda tahunan yang terus dirawat dan dikembangkan, membawa cerita dari desa menuju panggung Indonesia.

Bagi masyarakat Singgahan, SIPUTERA adalah lebih dari sekadar tontonan seni. Ia lahir sebagai ruang kebersamaan, wadah ekonomi, sekaligus identitas baru yang menumbuhkan rasa bangga akan desa mereka. (iMohdy/red)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top