Tentang Kebiasaan dan Bak Air Toilet

Coba jujur, seberapa sering Anda menemukan harta karun ini?

Saya sedang bicara tentang toilet umum. Ya, fasilitas Water Closet (WC) yang sejatinya adalah pahlawan penolong di tengah kesibukan kita. Mau di sekolah, kantor, mall, atau tempat ibadah, ia wajib ada. Kita sepakat, menemukan toilet yang bersih, wangi, dan lengkap itu rasanya seperti menemukan sebotol air dingin di siang bolong saat kita sangat kehausan. Tapi tunggu dulu, kenyamanan itu sering kali dirusak oleh satu masalah sepele: air yang kosong melompong. Sering kali, toiletnya sudah bersih lho, keramiknya kinclong, tapi begitu kita butuh air untuk menyiram (atau mencuci tangan), Jreng! Bak penampungannya kering kerontang. Padahal, keran airnya tinggal diputar sedikit, dan air pasti akan mengisi kembali.

Nah, ini yang selalu bikin saya gemas. Kejadian ini membawa saya pada satu refleksi sederhana yang sebenarnya berlaku di banyak aspek kehidupan: kebiasaan “Memakai dan Lupa Mengisi Kembali.” Kenapa ya, setelah kita selesai menggunakannya, kita sering acuh tak acuh membiarkan bak itu kosong? Apakah karena kita terburu-buru? Atau, jangan-jangan kita berpikir, “Ah, biar saja yang berikutnya yang mengisi.” Ini memang hal yang sangat sepele, sekadar memutar keran selama 15 detik. Tapi, dari hal sepele ini, kita bisa melihat pola pikir yang lebih besar.

Coba kita jadikan bak air toilet itu sebagai analogi kehidupan. Bukankah ini mirip dengan orang yang hanya mau mengambil manfaat (memakai) tanpa mau menanggung konsekuensi atau kewajiban (mengisi kembali)? Pernahkah Anda meminjam charger teman, memakainya sampai baterai Anda penuh, tapi mengembalikannya dalam keadaan kabelnya terbelit atau tidak diletakkan di tempat semula? Atau, Anda menikmati sesi sharing ide di kantor, mengambil insight dari rekan kerja, tapi saat giliran Anda diminta kontribusi, Anda tiba-tiba diam?

Sama persis! Ini adalah mentalitas “pakai-buang” yang tercermin dalam tindakan kecil di toilet umum. Kita hanya fokus pada kenyamanan diri kita saat itu, tanpa peduli bahwa orang berikutnya akan menemukan bak yang “kesepian” dan harus mengurus “kekosongan” yang kita tinggalkan. Apakah kita rela jika label “hanya mau memakai, tidak mau mengisi” itu melekat pada diri kita hanya karena kita malas memutar keran? Tentu tidak, kan?

Maka dari itu, yuk, mulai dari hal kecil ini. Sebelum keluar dari bilik, coba lirik sebentar bak air itu. Jika kurang atau kosong, putar kerannya sejenak. Pastikan pengguna berikutnya juga bisa mendapatkan “harta karun” berupa air yang siap pakai. Ini bukan cuma soal air, tapi soal empati dan tanggung jawab sosial yang dimulai dari fasilitas paling privat. Menurut Anda, kebiasaan sepele apalagi yang harus kita perbaiki bersama demi menciptakan kehidupan yang lebih “terisi” dan nyaman untuk semua? Share pendapat Anda!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top