Sebagai pendidik, saya sering melihat bahwa disiplin yang didasarkan pada hukuman dan rasa takut hanya menciptakan kepatuhan sementara. Anak mungkin berhenti berbuat salah karena diawasi, namun ia tidak belajar mengubah niat di dalam hatinya. Paradigma ini bertentangan dengan tujuan pendidikan sejati, yaitu melahirkan individu yang bertanggung jawab dan memiliki kontrol internal. Oleh karena itu, kami mengajak Ayah dan Bunda untuk beralih menggunakan Disiplin Positif—sebuah filosofi yang melihat setiap kesalahan anak sebagai peluang berharga untuk menumbuhkan keterampilan hidup.
Inti dari Disiplin Positif adalah membangun kontrol diri internal, bukan kontrol eksternal dari orang dewasa. Kita perlu memahami bahwa anak bertindak buruk karena mereka kekurangan keterampilan (misalnya, mengelola emosi atau memecahkan masalah), bukan karena mereka adalah anak yang buruk. Tugas kita sebagai guru dan orang tua bukanlah menghakimi, melainkan menjadi pembimbing yang membantu anak mengisi kesenjangan keterampilan tersebut. Tujuannya sederhana: agar anak patuh karena sadar akan nilai sebuah aturan, bukan karena gentar akan sanksi.
Untuk mencapai hal ini, konsistensi antara rumah dan sekolah sangatlah krusial. Guru di sekolah berupaya keras membangun rutinitas dan mencontohkan perilaku positif; hal yang sama perlu dilakukan di rumah. Orang tua adalah model utama bagi anak. Kepatuhan anak di sekolah, seperti ketepatan waktu dan tanggung jawab atas barang pribadi, sangat dipengaruhi oleh rutinitas harian dan contoh nyata yang mereka saksikan dari orang tua, termasuk cara Anda mengelola stres atau meminta maaf saat berbuat salah.
Saat anak melanggar aturan, mari kita ganti hukuman yang tidak relevan dengan konsekuensi logis. Konsekuensi logis selalu terhubung langsung dengan kesalahan yang dilakukan, disampaikan dengan tenang, dan bersifat mendidik. Contohnya, jika anak merusak mainan adiknya, konsekuensinya adalah mencari cara untuk memperbaikinya, bukan disita ponselnya. Proses ini mengajarkan anak tentang sebab-akibat dan tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan, sehingga kesalahan bertransformasi menjadi pelajaran berharga yang menguatkan karakter.
Pada akhirnya, guru dan orang tua adalah tim utama dalam perjalanan pendidikan karakter anak. Kami, para guru, berharap terjalin komunikasi terbuka dengan Anda. Dengan bersinergi, memastikan pesan yang sama sampai ke anak—yaitu lembut dalam empati dan tegas dalam batasan—kita dapat memastikan bahwa kita tidak hanya menertibkan mereka saat ini, tetapi juga mempersiapkan mereka menjadi individu dewasa yang berdaya, bertanggung jawab, dan siap menghadapi tantangan hidup. Mari bersama-sama wujudkan generasi yang berkarakter kuat.
myp/red